Ada banyak cara untuk mengenang jasa tokoh-tokoh sejarah bangsa yang sudah berkontribusi terhadap pendirian negeri ini. Ada yang dibuatkan monumen, dipatrikan namanya dalam historiografi besar Indonesia, hingga diabadikan jadi nama jalan.
Namun, bagaimana dengan mereka yang tidak berada di arus utama sedangkan jasanya masih terasa hingga saat ini? Di Tepi Sejarah, paduan seri monolog yang dipentaskan, kolaborasi Titimangsa dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) RI memunculkan kembali cerita-cerita dari mereka yang nama dan kisahnya mulai dilupakan.
Dibawah asuhan Happy Salma, Di Tepi Sejarah yang sudah memasuki musim ketiga ini mengangkat lima tokoh Indonesia yang berjuang di jalan masing-masing. Seri monolog musim ketiga menampilkan kisah dari Oto Iskandar Dinata dengan mengambil sudut pandang istrinya yaitu Raden Ajeng Soekirah, Ruhana Kuddus seorang pejuang dan wartawan perempuan, Francisca Casparina Fanggidaej sebagai seorang diplomat yang aktif berjuang pascakemerdekaan, Tan Tjeng Bok yang merupakan seniman multitalenta yang kiprah seninya bertahan melewati tiga zaman, dan Tirto Adhi Soerjo, seorang tokoh pers dan tokoh kebangkitan nasional Indonesia.
Acara ini bersamaan dengan perilisan buku naskah Antologi Monolog Di Tepi Sejarah yang berisikan 14 naskah monolog musim pertama hingga ketiga yang akan dibagikan ke sekolah-sekolah dan diharap bisa jadi sarana penunjang minat anak-anak Indonesia terhadap seni dan sejarah.
“Dengan perilisan buku naskah dialog ini dan dibawa ke sekolah-sekolah dan interpretasikan, kita ingin perkenalkan tokoh-tokoh yang jauh dari arus utama yang nama-namanya jarang disebut, tetapi dia punya sumbangsih yang besar terhadap bangsa ini dan itu dapat ditafsirkan dengan lentur lewat naskah,” sebut Happy Salma saat ditemui di acara Perilisan 5 Tayangan Seri Monolog Di Tepi Sejarah Musim Ketiga dan Peluncuran Buku Antologi di kawasan Jakarta Pusat, Jumat, 28 Juni 2024.
Happy juga mengatakan bahwa seni adalah media yang lentur dan multitafsir yang bisa membawa imajinasi anak-anak untuk lebih tertarik mendalami sejarah Indonesia. Ia berharap seni monolog dan teater bisa jadi pendekatan lain untuk pengajaran bagi anak-anak Indonesia.
Seni Pertunjukan yang Berangkat dari Keadaan
Perempuan 44 tahun tersebut juga menyampaikan bahwa seni pertunjukan dipilih karena kemudahan aksesnya yang bisa dilakukan oleh siapa saja. Itu mengapa buku Antologi Naskah Monolog ‘Di Tepi Sejarah’ boleh sebebas-bebasnya dipentaskan dalam panggung-panggung berbeda sesuai dengan tafsiran masing-masing.
“Dan bahkan di bawah pohon mau melakukan pementasan teater dengan naskah buku ini juga bisa. Saya mengutip kata-kata Pak Putu Wiyaja, bahwa, ‘teater itu bertolak dari yang ada’. Jadi bisa, ada budgetnya berapa pun, yang penting orangnya sehat, punya kreativitas, punya kemampuan untuk menghapal, it’s all good,” sebut aktris 44 tahun ini.
Meski begitu, Happy mengingatkan bahwa naskah yang tertulis di dalam buku ini tidak bisa dijadikan sumber sejarah yang valid karena berisikan monolog buatan penulis. Namun, kurang lebih, apa yang hendak disampaikan lewat naskah tersebut adalah sama dengan pemikiran dan ideologi para tokoh yang ada di dalamnya.
Ia juga menyampaikan bahwa naskah-naskah monolog tersebut melewati proses riset yang sangat panjang. Naskah monolog soal kisah Raden Ajeng Sukirah disupervisi secara langsung oleh cicitnya, sedangkan naskah dari kisah Ruhanna Kudus dihasilkan lewat pembacaan dan penelaahan panjang tulisan-tulisannya yang pernah diterbitkan.
Kolaborasi Seniman Pertunjukan dan Perfilman dalam Pementasan Monolog Di Tepi Sejarah
Memahami betapa berharganya penulisan naskah-naskah tersebut, pertunjukannya sebagai sebuah teater juga digarap dengan maksimal. Tokoh-tokohnya diperankan oleh sejumlah aktris film kawakan Indonesia seperti, Maudy Koesnaedi, Marsha Timothy, dan Widi Mulia, yang memperlihatkan kolaborasi seni antara film dan pertunjukan langsung.
“Ini ruang kolaborasi yang luar biasa antara aktor film dan aktor teater. Semua menjadi satu dan juga kita bisa menumbuhkan dan melahirkan banyak penulis-penulis yang hebat dan sutradara-sutradara yang hebat dan juga membangun komunitas seni pertunjukan,” tutur Happy.
Ia berharap pertunjukan monolog semacam ini bisa menumbuhkan suatu kebiasaan terhadap seni teater di masyarakat terutama anak-anak. Happy merasa bahwa perhatian terhadap dunia seni teater harus melalui proses panjang untuk bisa membuat seni ini lebih diapresiasi oleh orang banyak.
“Menonton teater itu harus dilatih, bahkan dari TK sudah harus diperkenalkan. Jadi, tidak bisa ketika sudah besar berharap orang mengapresiasi teater dan membeli tiketnya sedangkan tidak pernah dididik sejak kecil untuk cinta teater. Ini salah satu upaya yang berlapis dan saya tidak bisa melakukannya sendiri,” ungkap Happy.
“Butuh kolaborasi sebanyak-banyaknya untuk harapan ini semua berhasil,” tutupnya.
Cuplikan Seri Ketiga Monolog Di Tepi Sejarah dan Jadwal Tayangnya
Seluruh pertunjukan monolog Di Tepi Sejarah Musim Ketiga akan tayang di Indonesiana TV yang bisa diakses melalui layanan TV kabel berbayar. Berikut jadwal tayangnya dan tema yang diangkat.
1. Sudut Terlipat di Panggung Tan Tjeng Bok (Jumat 28 Juni 2024, Pkl. 20.00)
Di tengah kepopuleran dan gaya hidup glamornya yang penuh sensasi, Tjeng Bok jadi corong suara anti kolonialisme dalam berbagai peran yang dimainkannya. Tak heran dia mengalami ancaman dan penangkapan dari pemerintah Hindia Belanda.
2. Ke Pelukan Orang-Orang Tercinta (Rabu, 3 Juli 2024. Pkl. 20.00)
Francisca Casparina Fanggidaej menceritakan perjalanan hidupnya, tidak hanya sebagai pemikir dan penggerak besar pascakemerdekaan Indonesia yang aktif berdiplomasi di panggung internasional, tetapi juga konflik batinnya sebagai ibu yang terpisah dari anak-anak karena perubahan situasi politik.
3. Suamiku Oto dan Bel Pintu (Rabu, 10 Juli 2024 Pkl. 20.00)
Menjadi istri Oto menempa kekuatan RA. Soekirah. Masa-masa genting revolusi dilaluinya seorang diri seraya menjaga dan mendidik anak-anaknya. Di lubuk hatinya yang terdalam, ia terus berharap bahwa suaminya masih hidup. Apalagi sampai berbulan dan bertahun, selain desas-desus, nasib Oto Iskandar Di Nata tetap tak ada kejelasan.
4. Seroean Kemadjoean (Rabu, 17 Juli 2024, Pkl. 20.00)
Di akhir Abad 19, Ruhana bagian dari 1 persen perempuan Minangkabau yang pandai baca-tulis. Kesadaran ini membuatnya gigih memperjuangkan persamaan perlakuan antara perempuan dan laki-laki terutama di bidang pendidikan dan pekerjaan. Melalui surat kabarnya Ruhana dan perempuan-perempuan lain menulis karang-mengarang menyerukan “Kemadjoean”, dan menuliskan “Seroean”, ditujukan untuk “Bangsakoe, Bangsa Perempoean”.
5. Tirto: Tiga Pengasingan (Rabu, 24 Juli 2024, Pkl. 20.00)
Diambil berdasarkan biografi dan karya R.M. Tirto Adhi Soerjo, monolog ini menyelisik tiga masa dalam riwayat hidup tokoh perintis pers Indonesia tersebut sebagai kisah pengasingan. Melalui tiga masa itu, lakon Tirto melihat sisi-sisi manusiawi dari riwayat tokoh besar ini.